Selasa, 22 April 2008

Cinta dan Benci

Antara Cinta dan Benci

Oleh : Maximus Masa

Aku dan Maria adalah dua insan yang saling bersahabat. Dan persahabatan kami ternyata direstui oleh Tuhan dalam sebuah pertemuan di lorong areal perusahaan tempat kami mengais nasib dan menopang rejeki. Pada medio tak bertanggal milik Nepember, Aku sengaja mengajaknya untuk berjalan-jalan ke pantai yang indah dengan bentangan pasir putih yang sangat menakjubkan. Pemandangan yang membuat kami jatuh dalam angan-angan yang sulit untuk dilukiskan. Dengan dihiasi karang yang sangat menarik minat orang untuk melakukan petualangan laut, kami duduk di atasnya dan memandang ke lautan lepas diiringi irama gelombang, kami diam tanpa suara. Kami masing-masing seperti asyik mempermainkan imajinasi kami pada sesuatu yang jauh tak terjangkau. Kami benar-benar tenggelam dalam kesendirian antara dua insan yang duduk berdampingan. Bahasa bukanlah faktor satu-satunya menjadi alat pemersatu tapi keheningan mengantarkan kami untuk berpikir bagaimana seandainya kami saling menjalin hubungan yang lain yang lebih menjamin pada proses masa depan yaitu hidup yang penuh dengan warna cinta dan pengorbanan.

Tiba-tiba dorongan jiwa tak sanggup Maria tahankan. Keheningan buyar dihempas oleh suara getar Maria untuk menyatakan “Maxi aku cinta kepadamu”. Aku pun seperti gayung bersambut menjawab dengan nada penuh perasaan “ Memang hatiku layak kamu cintai”.

Kami pun kembali terdiam. Hempasan gelombang terus melumatkan karang yang ada di sekitar kami. Maria seperti rasa tidak puas dengan jawabanku. Maria kembali melontarkan pertanyaan seolah-olah ingin mencari kepastian dariku,”Maxi apakah kau juga cinta kepadaku”? Aku menjawab hanya dengan tatapanku ke wajahnya yang polos karena tidak dibalut oleh bedak atau pun bahan kosmetik lainnya. Aku tidak bisa menjawab dengan segera sebab tenggorokkan terasa sesak karena kebimbangan, keraguan dan cinta seperti saling berlomba untuk merebut hati seorang pemuda, Maxi, karena pada saat yang bersamaan berada antara dua pilihan yang sulit, di mana yang satu menarikku untuk menolak tapi yang lain timbul dengan melodi cinta dan kerinduan untuk ingin segera memiliki Maria, gadis yang ada disampingku.

Seiring dengan deru gelombang yang terus mampir ke pantai pasir putih dan karang dan kemudian kembali ke lautan lepas Maria merasa kesal dengan caraku yang demikian. Ia pun mengatakan “Aku benci kepadamu”. Jawabku tanpa basa basi “Kalau begitu hatiku pun layak kamu benci”.

Akhirnya Maria mengajakku pulang. Dua insan yang disatukan oleh Tuhan lewat persahabatan dan berakhir dengan cinta dalam nada keputusasaan. Dan aku tetap mencintainya walau kini kami berpisah.

Jogja, 12 April 2008

Kamis, 10 April 2008

Surat Cintaku

PENDUSTAKAH AKU?

( Oleh : Maximus Masa )

Dalam rentang waktu yang relatif cukup boleh dikatakan lama, tiga setengah tahun, dalam membina hubungan cintaku dengan seorang gadis yang bernama Maria, banyak hal yang aku dapati baik yang menyenangkan maupun yang menyedihkan. Pengalaman ini yang membuatku bertanya dengan pertanyaan klasik yang tak kunjung selesai “Pendustakah Aku”? Ingin hati memeluk gunung apa daya tangan tak sampai. Kira-kira itulah yang aku alami dalam membangun hubungan yang lebih dekat dengan Maria.
Meskipun dari hari ke hari aku terus memberi keyakinan padanya tetapi Maria tak pernah mengerti dengan apa yang aku katakan. Maria tetap melihatku sebagai seorang yang keras pada pendirian dan kasar dalam tindakan. Ya, memang demikianlah penilaiannya terhadap diriku. Aku hanya berjuang dan berusaha agar ia sadar dengan penilaian yang aku anggap belum tentu benar. Usahaku adalah berbuat dan bertingkah laku baik, baik dengan dirinya maupun dengan orang-orang yang ada di sekelilingku. Sebab perbuatan baik dapat mengalahkan anggapan negatif yang datang menghancurkan hubunganku dengan dirinya.
Aku merasa tidak putus asa dan aku mencoba menggoreskan sepucuk surat untuknya semoga ia sadar terhadap tekadku yang membara dalam mengejar bening cinta suci yang selama tiga setengah tahun silam bersemi. Inilah surat yang aku goreskan untuknya :

Medio, Mei 2007
Maria adikku,
Diamku akhir-akhir ini bukan karena apa-apa kecuali diamnya seseorang yang bingung dan tak bisa memecahkan teka teki, karena aku sering berada di antara kebingungan dan teka teki itu, ingin membangun kembali jalinan cinta kita ternyata, Maria, engkau menolak bagaikan suara gemuruh ombak yang meluluhlantahkan rongga jiwa yang gamang ini. Itulah suaramu, Maria, meskipun lembut seperti sutra, bening seperti kristal embun pagi tapi suara itu seperti mata tombak yang menusuk langsung ke dalam jantung sumber harapan untuk memiliki dirimu terpatri.
Saat ini aku tak bisa berbuat sesuatu kecuali memikirkan dirimu yang cantik, ayu dengan dihiasi senyum yang lepas dari bibirmu yang mungil. Maria, andaikan hari-hari yang telah kita lewati dalam waktu yang relatif singkat itu terulang lagi kini, mungkin di antara kita bisa saling memahami dan mengerti tentang watak dan karakter yang kita miliki dan mencoba untuk mengayunkan langkah secara bersama hingga di ujung batas dermaga ajal yang akan memisahkan kita. Tapi waktu yang indah itu tidak dapat mendekati kita lagi. Ia berlayar menjauh dari dekapan kita hingga di ambang batas penglihatan kita.
Kini tinggallah hatiku yang selalu mencintaimu. Hati ini ibarat seperti sumber air yang terus mengalirkan cinta. Hati yang tulus melahirkan harapan dan kekuatan kepada siapa aku mempersembahkan cintaku. Kepada engkau, Maria yang aku cintai, kepada teman-teman dan kepada semuanya aku mempersembahkan cintaku.
Tanggal 14 Mei 2007, ketika ku mencoba untuk mengajakmu untuk berlayar bersama dalam satu perahu kehidupan yang sama, engkau, Maria, Menolak dengan suara gumam yang masih tersimpan harapan. Harapan akan kehadiran seorang pemuda dalam mengisi kekosongan jiwa, memenuhi kerinduan dan kasih sayang dan perhatian yang tulus serta sebagai tempat hati itu bersandar. Dari raut wajah yang penuh iba tersimpan satu rahasia senyuman, di mana perpaduan antara rasa kecewa dan putus asa menjadi satu tanda di mana hati ini tercabik oleh sebilah kata tajam yang tertoreh di dalam dada. Itu aku telah mengerti! Dari tatapan matamu, mengalir satu perasaan yang sulit untuk ku lukiskan. Perasaan kecewa sekaligus harapan di saat mana keterpautan dua hati menjadi satu belum terwujud lantaran dililiti oleh egoisme dan amarah.
Maria, percayalah! Kebingungan yang dialami oleh seorang pemuda adalah pengorbanan dalam meraih cita, mengejar angan dan menggapai impian. Yang di dalamnya adalah salah satu bagian dari ikatan batin yang kuat dari sepasang kekasih yang cintanya telah terkoyak oleh gemuruh badai lautan egoisme dan amarah. Dan cintaku kepadamu akan terus mengalir walaupun di kesempatan yang lain engkau, Maria, mengatakan bahwa aku sakit jiwa.
Lautan kehidupan terasa sangat luas membentang. Aku kira dalam pelayaranmu saat ini, Maria, engkau sudah bahagia karena engkau berlayar bersama dengan seorang sahabat, Yomi, yang dapat memahami dan mengerti di kala engkau di landa gelombang lautan masalah yang mahadasyat. Dan aku yakin engkau, Maria, akan lebih berbahagia jika dalam pelayaranmu ditemani oleh seorang pemuda yang akan hidup bersamamu dalam untung dan malang, suka dan duka, susah dan senang di saat pelayaran itu masih terus berlayar. Pemuda itu adalah aku, Maxi, Maria. Aku yang akan mengisi kekosongan jiwamu dengan kasih sayang dan perhatian yang lembut yang telah diikat oleh sebuah ucapan “aku akan menikahimu” di malam Jumat yang larut, 2005 Desember yang silam di bawa jemuran yang menghiasi isi dari pokok pembicaraan kita.
Maria percayalah! Seorang pemuda sepertiku tak akan mengkianati suara hatinya dalam menyatakan cinta dan kasih sayang kepada seorang gadis yang kelak akan menjadi istri yang dicintai terlepas dari kepahitan yang melingkari hati yang risau ini.
Saat ini aku berkata dengan suara terbata-bata, Maria, agar engkau tidak takut menyandarkan hatimu padaku yang adalah seorang pemuda yang selalu ingat akan masa-masa indah sekaligus getir yang pernah dilintasi dalam jangka waktu tiga setengah tahun silam. Ada semacam getaran jiwaku yang masih menghiasi bingkai hatimu, dan yang dapat aku rasakan lewat pandangan matamu yang bening. Maria, kau selalu berada dalam hati dan pikiranku sejak awal di mana perpisahan yang memecahkan tekad perpaduan cinta kita. Dua puluh tiga Januari 2006 menjadi awal sekaligus akhir dari seluruh rangkaian drama kedekatan kita.
Tapi, ternyata Maria, meskipun kejauhan telah memagari badan kita dengan hari-hari yang mendung dan malam-malam yang larut namun tidak dengan hati kita. Hati kita, Maria, biar jauh dipisahkan oleh bukit, gunung dan lautan lepas, kita tetap dekat dan saling mendekap walaupun itu hanya sekilas terlintas dalam pikiran karena pikiran itu berasal dari hati yang selalu berusaha menghadirkan sosok kau dan aku, yaitu kau dalam aku dan aku dalam kau dalam ruang hati yang tulus ini.
Kini, Maria, aku telah menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk memikirkan dirimu ( senyummu, rambutmu, dahimu, tanganmu yang halus, matamu yang bening ), bicara kepadamu, mencoba menelusuri kembali kisah kasih yang pernah terungkap dan sekaligus menyingkap segala penyebab mengapa kau dan aku harus bertemu dengan perasaan bahagia dan berkhir dengan hati yang piluh dan luka. Karena cintaku yang tulus dan jauh dari rasa dendam dan sakit hati, aku selalu merasakan kehadiran bayangan dirimu dalam bilik hati yang lapang ini, mengkritikku apabila berbicara mengulangi persoalan yang sama, bercakap-cakap sambil menatap dan berdebat denganku, menyatakan pendapat tentang apa yang ku lakukan walaupun akhirnya harus mengambil sikap diam lantaran karena adanya usaha untuk menang sendiri.
Ah, Maria, itu hanyalah sekedar basa basi dalam melepaskan keraguan dan kebimbangan yang menggerogoti jiwa kita. Inti yang paling mendasar adalah cintaku kepadamu. Cintaku bukanlah sehelai benang yang tidak membentuk ikatan yang dirajut oleh hari-hari dan malam-malam, mengukur waktu dan menyelingi jarak yang memisahkan kita. Meskipun kita jauh tapi senantiasa sebenarnya kita dekat, yang tidak dipagari oleh mendungnya hari dan larutnya malam. Kita, Maria, tetap diikat oleh cinta yang tulus. Dan ikatan cinta semacam ini, Maria, ada mimpi-mimpi yang lebih indah yang kaya akan impian, impian supaya kita kembali memadu kasih hingga ajal memisahkan kita.
Maria adikku, sekarang meskipun hati bergelora untuk memilikimu, tapi aku memilih diam sampai kabut menghilang, pintu gerbang waktu terbuka lebar dan keluar dari bayang-bayang kebingungan dan hingga engkau, Maria, membuka hati untukku semayamkan nyanyian kerinduan dan cintaku yang selama ini bersemi.
Tuhan melindungimu selalu.

Salam


Maximus

Sebagai seorang laki-laki yang bertanggungjawab aku terus mencoba menerobos tembok anggapan yang sudah kokoh dalam hati seorang perempuan yang dicintai. Aku mau menunjukan bahwa aku bukanlah seorang pengecut. Aku adalah laki-laki yang punya rasa dan rasio dalam menciptakan hubungan cinta yang lebih mesra terlepas dari anggapan negatif yang beredar.
Wahai, kaum sebangsaku jangan kamu sakiti perempuan dambaan hatimu sebab dialah gambaran sang ilahi yang akan bersamamu dalam menyusuri lorong kehidupan yang nyaris seperti rimba raya yang tak berbatas ini. Cintailah dia dengan sepenuh hatimu. Perempuan dilahirkan sebagai partner kita dan bukan obyek kepuasan kita. Aku bukanlah pendusta tapi aku adalah laki-laki yang sungguh mencintai perempuan terlebih yang sudah terpatri dalam hati yang tulus ini.







Senin, 07 April 2008

Puisi Untuk Saudaraku di NTT

PUISI UNTUK SAUDARAKU DI NTT
( Oleh : Maximus Masa )

Dengan dahi merah mengkilat
oleh pancaran rembulan
Adikku lelaki
nampak memikul beban berat

Tiba-tiba langkahku terhenti,
Ku mengulurkan tanganku
menggenggam tangannya
Lalu ku Tanya” Mau jadi apakah kau setelah dewasa”?
Aku mau menjadi manusia, jawabnya tegas.
Dalam nada polos dan tulus setulus hatinya

Perlahan ku lepaskan genggamanku
Nampak tatapan matanya penuh harap dalam kecemasan yang mengaluti jiwa
Kutunduk membisu seakan ingin bertanya pada bumi
Dan ketika kutatap lagi adikku
Ternyata wajahnya telah pucat
Karena busung lapar telah menempatkan jiwanya di ujung maut.
Adikku telah tiada…