Rabu, 27 Agustus 2008

Pemberontakan Terhadap Adat

PEMBERONTAKKAN ADAT
Oleh : Maximus Masa

Florentina Olivia Deo Datus, nama lengkapku. Aku berasal dari Flores. Aku memiliki tekad yang kuat untuk menempuh studi di propinsi D.I. Yogyakarta. Dalam kehidupan keseharianku aku sering disapa dengan nama Olivia. Berbeda halnya di rumah yang selalu menyebutku dengan Tina. Aku dibesarkan dalam keluarga adat yang sangat kental. Meskipun tidak tercatat tapi adat seperti sebuah doktrin yang sudah melekat erat di hati sanubari masyarakat. Masyarakat adat. Adat yang menjadikan anak gadis bergerak dalam ruang lingkup yang sangat terbatas ; hanya berada dalam pusaran dapur dengan asap yang mengepul. Perempuan hanya sebagai orang rumahan yang perlu ‘dijaga dengan baik’ karena dalam diri perempuan terutama dalam diri anak gadis terkandung aset dan harga diri para orangtua di hadapan keluarga kaum laki-laki hasil perjodohan yang disandingkan oleh mereka walau cinta hanya sebatas adat. Adat Lio, Flores, dan semua adat daerah lain yang ada di NTT sana memandang perempuan dari segi materi, bukan dari cinta suci buah dari anugerah ilahi dalam diri sepasang kekasih, muda dan mudi.

Aku, Olivia, seorang gadis Lio, mempunyai pikiran yang lain. Pikiran yang bersebrangan dengan tuntutan adat. Bagiku adat tetaplah adat dan tidak merubah nasib untuk menjadi lebih baik kecuali lewat pendidikan dan pengetahuan yang dapat mengantarkan setiap orang ke mahligai kehidupan cinta yang sejati. Bukan adat dan harga diri, prestise tapi prestasi. Prestasi dalam menempuh pendidikan setinggi mungkin. Dengan pendidikan yang baik sudah tentu kehidupan keluarga pun dengan sendirinya akan menjadi damai dan sejahtera karena segala keinginan tercapai, cita-cita terwujud, angan terealisasi. Dan kehidupan menjadi bermanfaat manakala ilmu yang dimiliki dapat ditularkan kepada orang lain terutama anak-anak yang membutuhkan ilmu dan pengetahuan. Aku tidak setuju dan dengan keras menolak pandangan dan pendapat para tetua adat yang menganggap perempuan sebagai subyek dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan sikapku yang keras maka kehadiranku menjadi tidak diakui. Ya lebih baik begitu, itulah pikiranku.

Dalam kemelut yang melanda diri, aku, Olivia menumpahkan isi hati pada Romo Eusebius lewat sepucuk surat yang pertama sekaligus yang terakhir karena lewat Romo lah aku menjadi tegar menghadapi berbagai prahara kehidupan ini termasuk niatku yang tulus untuk belajar hingga ke daerah Istimewa Yogyakarta yang akhirnya harus kandas di tengah jalan. Kandas karena adat yang mengaluti pikiran dan hati orangtua yang telah memutuskan keputusan yang salah yang menyandingkan aku dengan laki-laki jeri lelah usaha mereka tanpa bertanya apakah kami saling mencinta atau tidak. Inilah surat yang ku kirim kepada Romo Eusebius :
Romo Eusebius yang saya hormati,

Salam hangat ku ucapkan untuk Romo, karena sudah sekian tahun Romo telah membentuk aku, Olivia, menjadi tegar dalam menghadapi berbagai tantangan hidup ini meskipun kini aku tak sanggup lagi menanggungnya. Mungkin Romo bertanya-tanya mengapa aku menulis surat ini buat Romo dan harus kepada Romo. Tentu saja aku mempunyai alasan yang masuk akal yaitu merubah adat dari yang kaku menjadi lebih fleksibel yang sesuai dengan tuntutan jaman kini.
Romo yang dicintai Tuhan, karena adat, sekali lagi karena adat eksistensiku di tengah segenap keluarga menjadi asing. Adat oleh keluarga menjadi alat prioritas utama untuk menjadikan aku sebagai seorang perempuan yang kuper dan kolot. Yang harus selalu menuruti apa kemauan dan keinginan mereka. Aku tak mau demikian Romo. Romo, aku goreskan surat ini dengan guyuran air mata, ku harap Romo bisa mengerti dengan penderitaan yang sedang ku alami ini. Saat ini Romo, aku ingin menghabiskan hidup ini dengan caraku sendiri karena aku tak sanggup lagi menerima berbagai terpaan masalah yang kian memuncak. Pasti Romo tidak setuju dengan keputusanku tapi apa hendak dikata meskipun Romo telah mengajari ku dengan segudang kebaikkan, ketulusan dan keikhlasan kini aku tidak berdaya lagi. Aku lemah. Perjuangan dan tekadku yang membara harus terhenti di sini, di ujung maut ini.

Romo, sebentar lagi segenap anggota keluarga akan berpesta pora merayakan keberhasilan mereka yang telah menyerahkan aku kepada seorang asing yang tidak aku kenal, laki-laki hasil perjodoan mereka. Mereka minum moke, makan daging, berbicara dengan intonasi adat yang kaku, senyum mengembang tanda kepuasan hati yang telah mengangkat prestise mereka ke atas sanjungan masyarakat dengan pujian yang bagiku sangat menggelihkan. Bagiku Romo, sungguh, ini adalah kekejaman terstruktural yang berwujud adat yang menutupi segala kerakusan dan kepongahan tetua adat dalam menerapkan adat pada tempat dan waktu yang salah. Sampai aku tidak mengerti lagi tentang pemikiran mereka karena sejak awal penolakkan terus aku canangkan. Betapa berat langkah hidup ini. Ingin meraih cita, mengejar angan dan menggapai impian seperti para gadis lain tidak dapat terwujud lantaran ada perintah yang tak terbantahkan dari keluarga agar aku harus segera menikah dengan laki-laki yang dijodohkan oleh mereka. Berat sekali langkah ini! Apakah Romo mempunyai jalan keluar untuk mengeluarkan aku dari kabut awan yang pekat ini sebelum aku mengambil jalan pintas untuk mengakhiri hidup di ujung maut ini?

Segenap anggota keluarga besar telah berkumpul di rumah tua warisan nenek moyang mereka dan membicarakan besarnya belis yang harus diterima seperti emas, kuda, kerbau, sapi, babi, kain, padi, beras dan uang. Rasa kuatirku semakin menjadi-jadi, kengerian yang luar biasa aku rasakan, suasana sangat mencekam membayangkan penderitaan baru yang kian dekat yang akan hinggap di pelupuk mata dan hati yang dilumuri kegelisahan ini. Romo, maafkan aku atas segala kesalahanku. Tak ada lagi jalan lain yang dapat aku tempuh kecuali mati bunuh diri sebagai puncak rasa ketidakberdayaanku sebagai seorang manusia lemah dan rapuh. Maafkan aku Romo! Semoga Tuhan selalu mengampuni aku lewat pengakuan dosa di hadapan Romo bahwa aku mati bunuh diri demi terhindar dari adat buah kerakusan segenap masyarakat yang memandang rendah kaum perempuan yang ditakdirkan dalam diri seorang Olivia.

Berkali-kali HP ku berdering dan nyaris tanpa henti. Berkali-kali itu pula mereka memintaku untuk segera pulang ke rumah, neraka baru dalam lingkaran hidupku. Aku hanya pasrah dan memberontak pada Santo Thomas atas keraguan jarinya dalam menjamah jubah Yesus yang digambarkan dalam drama tragedi kematian bunuh diri. Romo, surat ini adalah yang pertama sekaligus yang terakhir ku tuliskan untuk Romo. Terima kasih atas jasa-jasanya yang telah Romo berikan kepadaku. Tiada kata yang lebih berharga dan lebih indah kecuali ucapan terima kasih lah sebagai jalan terakhir karena memang yang terakhir ku sapa Romo karena sebentar lagi Romo akan mendengar berita kematian seorang perempuan muda yang cantik, Olivia. Kematian dengan jalan ini Romo, akan jauh lebih mengenang. Karena menjadi bahan perbincangan berbagai kalangan dari kelas atas hingga masyarakat adat.

Romo, ku harap Romo dapat menyampaikan salam awal sekaligus akhir dari seluruh rangkaian drama kehidupan ini kepada sanak familiku terutam orangtua tercinta. Bapak dan mama maafkan Tina karena atas kekerasa hati Tina membuat bapak dan mama menderita lahir dan batin. Maafkan Tina. Dan melalui Romo berkat pengampunan mengalir kepadaku dengan sinar ilahinya. Aku harus berakhir di sini sebagai jawaban dari ketidakberdayaanku sebagai seorang anak di hadapan orangtua hingga berujung pada pemberontakan dan mati bunuh diri. Selamat tinggal bapak, mama, kakak, adik dan Romo Eusebius. Doakan aku agar berjalan ke surga tidak tersendat jatuh dalam lembah neraka yang menakutkan. Selamat tinggal…



Tidak ada komentar: